Rabu, 08 Februari 2012

Bermain Catur di Arena Sastra


Bermain Catur di Arena Sastra
Oleh Neneng Nurjanah

Data Buku
Judul                            : Filosofi Catur
Karya                           : Katherine Neville
Jumlah halaman           : 1182 halaman
Terbit                          : Agustus 2007


Siapa yang tak kenal catur? Permainan tua yang konon berasal dari Iran kuno ini, menyita banyak perhatian orang di berbagai sudut bumi. Catur bahkan menjadi cabang olah raga yang banyak dipertandingkan. Entah itu demi meraih gelar atau hanya sebagai pengisi waktu luang saja.

Tapi, bagaimana jika yang menjadi buah catur bukan pion-pion yang terbuat dari kayu, melainkan manusia. Sekali tersingkir, kematian menjadi sebuah resiko permainan. Inilah yang terjadi dalam novel Filosofi Catur yang diterjemahkan dari novel The Eight karya Katherine Neville tahun 1988. novel ini kita membawa pada pertarungan antara sekelompok orang dari tim hitam dan kelompok putih. Uniknya identitas masing-masing tim tidak diungkap secara eksplisit, pembaca justru ditantang untuk menebak siapa tim hitam dan tim putih beserta posisinya dalam permainan. Selain itu, kitapun diajak mengembara menuju semesta ilmu alam (matematika, fisika, kimia) dan seni (musik). 

Novel yang berjumlah 1182 ini, memfokuskan penceritaannya pada dua tokoh yang bernama Mireille de Remmy dan Catherine Velis yang berperan sebagai Ratu hitam. Seperti ratu (queen) dalam permainan catur- yang dapat melangkah bebas- dua tokoh ini berkelana dari satu negara ke negara lain. Petualanganpun terjalin, dibumbui dengan tokoh-tokoh sejarah seperti Rousseau, Voltaire, Napoleon Bonaparte, dan Robespierre.

Singkatnya, novel ini bercerita tentang seperangkat alat catur yang dibawa orang moor (muslim) sebagai hadiah dari Ibn-al-Arabi  untuk Raja Charlemagne di Prancis atas bantuan mengalahkan bangsa Basque Pyrenees. Buah catur ini terbuat dari logam mulia yang dihiasi oleh batu-batuan rubi, safir, berlian dan jamrud serta kekuatan yang misterius. Sehingga, Raja Charlemagne memerintahkan untuk menguburnya di biara Montglane. Kemudian seperangkat catur itu disebut Montglane Service.

Seiring dengan revolusi Prancis tahun 1790, ada beberapa pihak yang ingin memiliki Montglane Service untuk memperoleh formula rahasia yang terkandung di dalamnya. Inilah yang menyebabkan Madam Roque, kepala biara Montglane menyusun strategi untuk menyelamatkan Montglane Service. Kepala biara mengutus dua biarawati dari biara Montglane yang bernama Mireille de Remmy dan sepupunya Valentine untuk ikut andil dalam usaha penyelamatan Montglane Service.

Perebutan Montglane Service melibatkan Mireille dan Valentine pada sebuah permainan yang berujung pada kematian Valentine. Hal ini membuat Mireille terpancing untuk menguak misteri Montglane Service dan membawanya pada sejumlah pengembaraan dari Corsiva sampai Aljazair. Di Aljazair barulah Mireille paham permainan beserta posisinya. Mireille yang ternyata seorang ratu hitam mengetahui misteri Montglane Service dan berusaha untuk memastikan buah-buah catur dalam keadaan aman.

Perebutan montglane service berlanjut sampai 1972, yang melibatkan seorang ahli komputer yang bernama Catherine Velis. Ia menghadapi kematian misterius Grand Master Fiske dan Saul (sopir pribadi temannya).  Pada saat yang sama Chaterine yang sama mendapat tugas untuk meng-install program di sebuah departemen perminyakan di Aljazair. Di sana Chaterine terlibat pada pergantian posisi ratu hitam dan tugas penyelamatan Montglane Service. Hingga akhirnya, Catherine dan teman-temannya menyibak tabir rahasia Montglane Service yang memuat formula rahasia panjang usia dan gambaran tatanan alam semesta.
***
Novel setebal 1182 halaman tentu menyita banyak konsentrasi. Tapi, dengan penggunakan bahasa yang sederhana dan terjemahan yang cukup jernih, mata kita seakan tidak lelah untuk menelusuri lembar demi lembar, menikmati lukisan imagi visual yang estetik. Terasa nikmat rasanya kita mengecap kalimat ‘tanah ini tenggelam di musim semi (hal 14)’ menggambarkan kondisi jalan bukit yang lembab di musim semi yang seharusnya kering. Atau kalimat ‘…tak ada yang bergerak disana kecuali kristal-kristal  pasir yang berterbangan dihembus oleh nafas Tuhan (hal 604)’ yang mendeskripsikan hamparan lautan pasir Sahara dengan tiupan angin.

Novel ini juga  menarik karena penceritaan yang berlapis. Ada tujuh bab pada novel ini yang memiliki subbab, seperti ada cerita dalam cerita. Semisal pada bab pertama yang diawali dengan deksripsi keadaan genting di Prancis dan akhirnya berujung pada penceritaan Madam Roque tentang asal mula Montglane Service. Tehnik penceritaan ini membuat pembaca dituntut untuk teliti dalam membedakan mana subcerita, dan cerita utama.

Yang lebih unik lagi novel ini memiliki jalinan cerita novel meloncat loncat. Bab pertama menceritakan tentang Mireille dengan latar, tahun 1790 dan bab kedua penceritaan beralih pada Catherine dengan latar, tahun 1972. Tapi asiknya membaca novel ini, meski cerita yang berloncat-loncat, penulis tahu betul di mana menempatkan cerita Mireille dan Catherine. Sehingga, saat klimaks setiap bagian tidak kehilangan ketegangan dan kejutan-kejutan yang membuat kita tambah penasaran dengan kelanjutan nasib para tokoh. Dan membuat kita tertantang untuk menebak teka-teki dan misteri yang belum terungkap.

***
Perempuan Dalam Permainan Yang Patriarkhal

Posisi Mireille dan Catherine dalam novel ini sangat unik. Mereka memiliki peranan penting dalam menentukan menang kalahnya tim dan keselamatan Montglane Service. Sebagai ratu hitam mereka menunjukan kekuatan perempuan (girl power) dalam menyelesaikan misi, meskipun harus mengorbankan nyawa. Selain itu, Catherine sebagai ratu hitam memiliki kekuasaan untuk menentukan nasib Montglane Service yang sudah terkumpul.

Seperti juga ungkapan Yalom, seorang peneliti senior di Institute for Women and Gender di Stanford University, Amerika Serikat  yang meneliti permainan catur pada abad pertengahan, Ia mengatakan bahwa posisi Ratu (queen) dalam permainan catur-yang anggotanya adalah laki-laki-sangatlah unik. Ia adalah satu-satunya buah catur yang memiliki langkah yang sangat bebas, dan yang lebih hebatnya lagi ratu bisa melakukan ancaman mati (checkmate) terhadap seorang Raja (king). Ini ternyata posisi relevan menguatnya posisi perempuan di Eropa Selatan pada abad pertengahan yang berhak atas warisan, gelar kebangsawanan dan memerintah suatu wilayah.

Sebagai Ratu Hitam Mireille dicitrakan sebagai tokoh yang cerdas dan  berani. Dengan tangguh, Dia menaiki kuda menuju Corsiva dan menyebrangi laut tengah untuk mencapai Aljazair meskipun dalam keadaan hamil. Tanpa ragu dia pun membunuh Jean Paul Madat sebagai aksi balas dendam atas kematian Valentine serta mengatur kehidupan posisi orang yang berperan dalam permainan agar Montglane Service ada dalam keadaan yang aman.

Catherinepun demikian, dia memiliki kecerdasan seorang ahli komputer dengan karakter yang kuat dan tegas. Bersama teman-temannya, Ia memecahkan teka-teki penggalian buah catur, dan misteri formula rahasia Montglane Service. Sebagai Ratu Hitam, ia mampu bekerja sama dengan timnya seperti Solarin sebagai  knigt (kuda), dan Nim sebagai rook (Benteng).

Akhirnya, ada semacam pesan yang terselubung dalam novel ini, yaitu perempuan memiliki kekuatan yang besar meski ada dalam kehidupan yang patriarkal. Laki-laki dalam hal ini tidak selalu menjadi musuh, melainkan menjadi partner dalam memerangi kejahatan yang lebih besar. Novel ini seakan memberi spritit untuk menjadikan diri perempuan sebagai ‘Ratu’ yang tidak melulu manut pada sang ‘Raja’, namun menjelma sosokyang berkuasa. ***


Minggu, 05 Februari 2012

Wangsit Mendut


Wangsit Mendut
Oleh Neneng Nurjanah

Judul Buku      : Rara Mendut sebuah trilogi
Penulis             : Y.B Mangun Wijaya
Penerbit          : PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun             : 2008
Jumlah halaman : 802 halaman

Kemerdekaan sampai saat ini hanyalah untuk budak bukan perempuan
(Nawal El Saadawi).

Ungkapan ini mungkin tepat menggambarkan tiga tokoh utama dari trilogi Rara Mendut  karya Alm. YB Mangun Widjaya. Karya trilogi ini memang memberikan warna tersendiri bagi khasanah kesususatraan Indonesia. Meskipun pernah dimuat bersambung di harian Kompas pada tahun 1982 dan diangkat ke layar putih tahun 1983, cerita Rara Mendut masih segar untuk kita nikmati sekarang, selain menceritakan perempuan, novel ini pun memberikan banyak kritik sosial yang tajam dan humor khas jawa.

            Trilogi ini dibagi kedalam tiga bagian utama yaitu bagian pertama: Rara Mendut, bagian kedua : Genduk Duku, dan bagian ketiga : Lusi Lindri. Cerita ini dimulai dari kisah Rara Mendut, seorang anak nelayan diculik untuk di jadikan selir Adipati Pranggola, pemimpin Kadipaten Pati. karena kekalahan oleh Mataram, maka  Mendut sebagai kekayaan tertinggi dari Kadipaten Pati diboyong ke Mataram. Ia beserta Genduk Duku dan dayang Puri Pati, Ni Semangka diangkut kemataram sebagai putri boyongan (hal 25 ) . Saat itu kerajaan Mataram berada pada puncak kejayaan dan menguasai hampir keseluruhan pulau jawa.

Dalam perjalanan prajurit mataram berusaha memperkosa Mendut, tapi Mendut  gigih menjaga keperawanannya sehingga Tumenggung Wiraguna terkagum dan timbul keinginan untuk menjadikannya sebagai selir. Meskipun sebagai perempuan rampasan yang tidak memiliki kekuasaan atas dirinya, Mendut menolak untuk dijadikan selir Panglima Besar Mataram itu, ia mengajukan permohonan untuk dibebaskan. Hingga akhirnya Mendut harus membayar pajak kepada Wiraguna sebagai kompensasi biaya hidup di Mataram (hal 128). Untuk membayar pajak, Mendut berjualan rokok hingga akhirnya ia bertemu dengan Pranacitra, pemuda yang ia dambakan waktu tinggal di Teluk Cikal, Cinta Mendut pun bersemi. Mengetahui hal itu, Wiraguna marah dan membunuh Mendut dan Pranacitra.

Kejadian terbunuhnya Mendut dan Pranacitra membuat Genduk Duku menjauhi kehidupan istana dan menikah dengan nelayan di pantai utara yang bernama Slamet, tapi keinginan untuk membalas budi kepada Nyi Pahit Madu menyebabkan Duku kembali pada kehidupan puri. Akhirnya Duku dan Slamet berada pada misi penyelamatan putri Tejarukmi, selir muda Wiraguna yang diculik oleh Putra Mahkota Mataram atau Pangeran Jibus. Perebutan inilah yang menyebabkan Slamet meninggal di tangan Wiraguna. Ia berusaha menyelamatkan putri Arumandi yang berada disamping Tejarukmi saat dibunuh Wiraguna karena dianggap telah berzina dengan sang Pangeran. Sedih karena Mendut dan suaminya mati di tangan Wiraguna menyebabkan Duku menjauh dari kehidupan kerajaan dan berdiam di gunung.  

Ulah pangeran Jibus menyebabkan kejayaan Mataram berangsur redup. Kesewenang-wenangan Pangeran Jibus sebagai putra mahkota menyebabkan kehidupan rakyat menderita terlebih ketika ia diangkat menjadi raja Mataram yang bergelar Aria Mataram atau Amangkurat. Baginya, perempuan yang tinggal di mataram boleh ia setubuhi meskipun sudah bersuami. Maka setiap kali ia melihat perempuan yang cantik kontan langsung ingin ia dapatkan.  Kondisi ini membuat Duku menitipkan anaknya Lusi di puri panglima mataram yang juga guru putra mahkota, Tumenggung Singaranu. Duku menganggap Tumenggung Singaranu sebagai  panglima yang jujur dan berwibawa sehingga Pangeran Jibus tidak akan berani macam-macam pada anaknya. Lusi pun dididik menjadi prajurit wanita. Karena keahliannya menggunakan senjata akhirnya Lusi diangkat menjadi penjaga Ratu Ibu yang bernama Trinisat Kenya. Saat itu Lusi banyak mendengar tentang kebobrokan dan intrik politik kerajaan mataram hingga akhirnya ia bergabung kedalam kelompok pemberontakan, sampai kelima anaknya menjadi korban perjuangan melawan kelaliman rezim raja Aria Mataram. Diakhir cerita, akhirnya kejayaan mataram berangsur pudar, lusi akhirnya berpindah dari Mataram.

***
Antara Cinta dan Negara
Dalam trilogi ini, Rama Mangun memang terlihat mahir meramu  cerita antara kenyataan fiksi dan fakta. Dengan pengembangan dari babad tanah jawi, Rama Mangun mengisi kenyataan sejarah dengan nilai filosofi jawa, sehingga setiap peristiwa yang mengalir dan menjadi lebih bermakna. Ada banyak hal yang terkandung dalam trilogi ini sehingga menjadi karya yang padat dan menyenangkan, menghibur dan mendidik, terlebih dengan tuturan yang lancar menambah kenikmatan dalam membaca  trilogi ini.

Pertama, Dalam setiap bagian trilogi menggunakan perempuan sebagai tokoh utama yaitu Rara mendut, Genduk Duku, dan Lusi Lindri. Penggunaan tokoh utama ini memunculkan tiga hal, yaitu pencitraan perempuan, tokoh perempuan sebagai fokalisator dalam memandang persoalan hidup dan kondisi perempuan sendiri.

Pencitraan perempuan dalam trilogi ini tergolong unik, ketiga tokoh ini merupakan citraan perempuan memiliki karakter yang kuat tanpa kehilangan sifat alami seorang perempuan. Seperti tokoh Rara Mendut, sebagai perempuan rampasan, ia tidak menyerah untuk memperoleh kebebasannya dan terlepas dari cengraman Wiraguna. Hasrat Wiraguna untuk menjadikan Mendut sebagai selir membuat Mendut ditimpa berbagai kesulitan. Dari mulai menari di depan umum sampai membayar pajak 10 real perhari, Mendut jalani gigih agar terlepas dari kekuasaan Wiraguna. Dari sikapnya, Mendut tergolong istimewa karena dengan lantang menolak dijadikan istri seorang Panglima Besar mataram (hal 116). Kemampuan untuk membayar pajak pada Wiraguna merupakan kemenangan Mendut atas syarat-syarat yang diajukan oleh Wiraguna. Kontan Wiraguna merasa harga dirinya diinjak, ia berpikir dengan pembebankan pajak itu Mendut akan bertekuk lutut, namun ternyata Mendut menunjukan kekuatannya sebagai perempuan. 

Begitupun tokoh Genduk duku dan Lusi Lindri, kedua tokoh ini dicitrakan sebagai perempuan penunggang kuda-saat itu perempuan tidak lazim menaiki kuda. Mereka bersikap patriot dan berusaha untuk membela kebenaran meskipun harus berkorban. Duku harus tegar ketika suaminya mati di tangan Wiraguna demi menolong Putri Arumandi, pun dengan Lusi yang harus rela kelima anaknya meninggal demi menumbangkan kelaliman penguasa Mataram. Pandangan tokoh Mendut pun menarik dalam mengugkapkan arti kecantikan, kecantikan baginya tak berguna ketika ia berada dalam kurungan, baginya kebebasan sebagai manusia lebih penting dari sekedar penampilan luar sebagai selir (hal 102). Ini kontras dengan pandang Putri Arumandi dan Nyai Ajeng (selir Wiraguna) yang mengungkapkan bahwa tugas wanita adalah untuk tetap ayu, menarik, dan menghiasi dunia dengan segala kenikmatan yang dimiliki (hal 408).

Kedua, yang menarik adalah trilogi ini membingkai peristiwa-peristiwa saat kegemilangan sampai pudarnya Kerajaan Mataram. Di bagian pertama, terlukis kerajaan mataram yang berhasil menaklukan Kadipaten Pati, menguasai tanah Jawa, dan menangkap para pelaut asing. Saat gemilang itu dicitrakan masyarakat Mataram sebagai gemah ripah loh jinawi. Pada bagian kedua mulailah kegemilangan itu redup karena ulah putra mahkota yang sewenang-wenang terhadap rakyatnya terlebih pada perempuan  dan di bagian ketiga di ceritakan Maratam mengalami kemunduran hingga kejatuhan (hal 623-775). Dari ketiga fase ini bisa diamati bagaimana kekuasaan yang kuat akhirnya redup karena keserakahan dan kesewenang-wenangan para petingginya. Kesetiaan terhadap kerajaan hanya berbentuk pengabdian saat perang dan penaklukan terhadap lawan di sisi lain petinggi kerajaan itu tetap saja sewenang-wenang terhadap rakyatnya.

Kondisi ini memunculkan kritik bahwa selama ini rakyat hanya diperalat dan dijadikan anak tangga yang diinjak untuk meraih singgasana dan kahyangan kenikmatan setiap kaum puri (hal 775). Rakyat tetap menderita bahkan dikenai pajak yang tinggi, sehingga muncul ungkapan bahwa selama ini raja selalu miskin karena meminta sedekah dari orang miskin (hal 714) dan pergantian raja tidak membawa perbaikan tapi sebatas pergantian rezim yang lalim.  

Selain seluk-beluk kekuasaan dan pertarungan yang sengit, trilogi ini bercerita juga tentang hubungan antara laki-laki dan perempuan. Dalam kosmologi jawa persetubuhan antara laki laki diumpamakan dengan penyatuan kamaratih. Kama artinya adalah dewa asmara dan ratih adalah dewi asmara. Penyatuan antara dewa Kama dan dewi Ratih tidak hanya sebatas persetubuhan yang membuahkan bayi, karena Perempuan bukan cuma sawah, tempat laki-laki menanam benih. Penyatuan panjalu (alat vital laki-laki) dan pawestri (alat vital perempuan) memiliki makna lebih dalam dan lebih serasi dengan martabat kemanusiaan. Penyatuan antara laki-laki dan perempuan semestinya merupakan Eka-Atma, yaitu penyatuan diri dan jiwa (hal. 784). Perempuan dalam hal ini bukan menjadi objek seksual, liyan melainkan unsur penyeimbang, saling mengisi dan memberi.
***
Wangsit Mendut
Membaca trilogi Rara Mendut ini memang memberikan kepuasan tersendiri, kita menelisik sejarah masa lampau yang secara tidak langsung kita belajar tentang kekokohan sekaligus kerapuhan raja-raja di tanah jawa. Selain itu gerak alur pengaruh Islam dan pelaut asing membawa kita pada zaman awal mula penjajahan yaitu pada abad ke-17.

Membaca trilogi ini, seakan–akan kita menerima wangsit dari Rara mendut untuk berjuang dalam kondisi sesulit apapun, tidak ada kata menyerah. Meskipun saat itu kondisi perempuan teramat memprihatinkan, tubuh perempuan hanya berfungsi untuk memuaskan nafsu para penguasa. Sementara disisi lain perempuan dituding sebagai penyebab keruntuhan sebuah kekuasaan. Padahal keserakan penguasalah yang menyebabkan perempuan ada pada kondisi yang parah. Sehingga kemerdekaan atas tubuh perempuan harus dibayar dengan mahal. Penolakan mendut atas pinangan Wiraguna merupakan sikap politik memperjuangkan kuasa atas tubuhnya (personal is politic).

Pun ketika menghayati kegigihan para tokoh membuat kita terharu dan membangun spirit perlawanan terhadap kejahatan rezim, kritik tajam ini masih relevan dengan keadaan kita saat ini. Trilogi ini pun mungkin bisa membantu para wakil rakyat kita yang sedang gencar berpromosi untuk tidak lupa akan sejarah. Sejarah penjajahan yang tidak hanya dilakukan oleh Belanda melainkan juga oleh kerajaan-kerajaan besar nusantara. Sejarah tentang raja-raja yang menjadikan rakyat sebagai anak tangga untuk memperoleh kekuasaan dan sejarah yang mencetak para Raja miskin yang hanya mampu meminta pajak dari rakyat miskin tanpa mampu memberikan kesejahteraan yang hakiki.***

Kamis, 02 Februari 2012

Perempuan yang Menikah dengan Angin


Perempuan yang Menikah dengan Angin


Kini semua telah berakhir. Batin Sinta memuai bagai cairan magma, berpijar sepanas api. Matanya meleleh, seberkas cahaya menguap menjadi kabut.  “Aku kini seperti mayat hidup” kata Sinta. “Tak ada lagi harapan yang mesti kusimpan karena kini Rama tak lagi percaya. Ia tak lagi setia pada kata-katanya. Biarkan aku melebur bersama api. Biarkan angin yang menikahi keperawanan hatiku.”

Sintapun tenggelam dalam kobaran api. Terbakarlah tubuhnya dijilati cahaya panas menjulang. Di sela-sela terakhir hidupnya batinnya berbisik “ Dewa, adilkah ini, telah ku jaga setiap rasa untuknya. Inikah balasan ketulusan cintaku?” “Dewa, izinkan kenanganku menghantuinya agar Rama sadar arti perempuan”.

Detik demi detik berlalu.  Sinta pun menyatu sempurna dengan api. Tak ada lagi tubuh siluet biola dan rambut hitam tergerai. Aroma tubuh terbakar menyeruak di antara jari-jari angin. Tubuh Sinta menguap ke udara, membakar seluruh amarah dan asmara. Di sela-sela terakhir senyum Sinta terselip air mata menyelinap diantara asap.
***
Sinta mengalami nasib yang tragis setelah penyerangan negeri Alengka. Ia  menjadi orang asing di mata Rama. Padahal sebelumnya, Rama dan Sinta adalah pasangan yang dianugrahi karunia dewa-dewi kahyangan. Setiap gerak langkah mereka adalah harapan kejayaan bumi dan anugrah langit.

“Sinta, sediakah engkau untuk selalu disisiku. Menemaniku disaat susah, menjagaku disaat suka, menikmati setiap aliran kehidupan sampai muara kematian” ujar Rama pada Sinta, dibelainya Sinta saat itu, kuning muka Sinta tiba-tiba memerah, darahnya mendidih, hasratnya merangkak naik hingga batas kulminasi. Seraya Sinta berkata “Kanda, ketika Kanda setia menjaga setiap rasa, setiap kata yang ucapkan pada Dinda, duri dan bunga kita jalani bersama. Dinda selalu sedia untuk Kanda, asal Kanda setia pada kata-kata”. Merekapun tanggelam dalam asmara. Setiap hari serasa musim semi, bunga-bunga yang kuncup kini memekar. Awan yang kelabu, kini membiru malu saat melihat pasangan itu berjalan diantara rerimbunan pohon menuju Kerajaan Kosala. Suara burung, seakan menyanyikan lagu cinta berulang-ulang, merekapun saling melempar senyum, dan Rama mulai menggenggam tangan Sinta. Dan sempurnalah dunia milik mereka berdua.

Hari-hari berjalan selayak putaran bumi yang menari di atas garis edarnya. Hingga suatu ketika  ketika Rama akan dinobatkan menjadi raja di kerajaan Ayodya. Seketika Kaikayi menagih janji pada paduka Dasarata, awal petaka dimulai.

Rama yang direncanakan menjadi raja Kosala, malah memperoleh pengasingan selama 14 tahun. Seluruh warga kerajaan geger, Dewi Kausalya, ibu Rama seketika sedih mendengar kabar pengasingan Rama.

Dengan bijak dan tenang, Rama mendamaikan hati ibunya “Bunda, suratan takdir belum mengizinkanku naik tahta. Pengasingan ini membuat hamba bangga kepada Ayahanda yang berani menepati janji. Tak perlu sedih Bunda, sebentar lagi hamba akan kembali kepelukanmu ” seketika Dewi Kausalya murung dan pingsan.

Di depan Balai penghadapan khusus, Rama dan Laksmana melepas pakaian kebesaran dan menggantinya dengan walkala, giliran Sinta dengan tenang dan tanpa risi ia berganti pakaian dibantu oleh Rama.   Berbekal makanan, pakaian dan senjata mereka meluncur dengan cepat menuju hutan Dandaka.
***
“Rama apakah sudah melupakanku?” ujar Sinta dalam hatinya sambil menitikan air mata. Keindahan taman Asokawana tak sebiji zarahpun menyentuh hatinya. Harum mawar, melati, cempaka dan teratai tak sedikitpun menghadirkan keceriaan baginya.
Sintapun memutar ingatannya sambil bergumam.
Rama, aku selalu ingat saat matamu memanah hatiku. Ketika kau, Laksmana dan Resi Wiswamitra melintas kolam alun-alun kerajaan Mithila. Kau selayak dewa, wajah yang teduh, tubuh gagah dan mata yang tajam. Sungguh, aku tak mampu melupakanmu. Bayanganmu membuatku tak bisa mengenal diriku. Hatiku risau mengingatmu. Meski kau tak ku kenal, tapi hatiku selalu tertuju padamu. Pandanganku selalu mencermati bayanganmu.

Hingga suatu saat, kau datang pada ayahku dan mematahkan panah dewa Siwa. Serta merta kau mememangkan sayembara atas diriku. Apakah kau lupa saat kau meminangku sebagai pendampingmu. Ah.. Rama disini aku sendiri, tanpamu.

Rama, salahkah aku, ketika aku hanya menginginkan kijang kencana? Dosa besarkah itu, sehingga aku terkena petaka ini. Bukan kah dulu Hawa juga pernah meminta khuldi pada Adam, tapi bukankah itu  yang membuat Adam semakin cinta pada Hawa dan membuatnya sempurna sebagai manusia.

Air mata sinta mengalir dengan deras. Paras sinta yang ayu, kini pudar bersama jiwa yang sendu. Tak ada lagi semangat yang ia punya. Kain sari yang lusuh, kulitnya kusam, air muka suram, dan rambut kusut, menyempurnakan kekalutan batinnya. Pernah suatu kali datang Rahwana ditemani istri-istrinya. Dengan rayuannya, ia memohon Sinta agar mau jadi istrinya. Tapi, Sinta begitu teguh, rayuan Rahwana tak lebih dari debu jalanan.

“Setiap yang aku mau aku pasti mendapatkannya ? Perempuan di penjuru manapun bisa ku dapatkan, tapi kenapa dengan Sinta? Kerajaan Alengka akan kuberkikan jika Sinta mau” ujar Rahwana pada dirinya. “Tak pernah Aku  merendahkan diri sehina ini  di depan perempuan, dan tak secuil perasaan Sinta tersisa untukku. Tapi biarkanlah, biarkan waktu yang melucuti kesetiaanya” ujar Rahwana dalam hatinya.
***
Di sisi lain, Rama beserta rombongannya sibuk menghimpun kekuatan untuk menggempur Alengka. Ia mengutus Hanoman  selama 30 hari untuk mencari kabar Sinta.. Hanoman pun meluncur ke Negeri Alengka. Setibanya di pantai Alengka, ia merasa takjub dengan Negara para Raksasa ini. Sawah hijau terhampar selayak permadani. Keriuhan para raksasa dan ketatnya penjagaan membuatnya harus menyamar menjadi kera seukuran anak kucing. Ia pun melaju menuju ibukota Trikurta dan mencari istana Rahwana.

Di Istana, Rahwana mencermati perempuan-perempuan cantik. Tapi, semua tampak tak sepadan dengan gambaran Sinta. Ia pun menyelusup sampai di taman Asokawana, taman yang biasa digunakan oleh Rahwana untuk menaklukan perempuan hasil rampasan perang.

Disana Hanoman melihat sesosok perempuan  mamakai kain sutra kuning yang lusuh, matanya sembab, rambut panjangnya kusut. Ia cantik, anggun, namun air mukanya menyimpan duka yang dalam. Tatapannya sayu seakan dunia selalu suram.

Hanoman memanggil Sinta seraya menunjukan wujud aslinya. Sontak Sinta hampir berteriak. Namun, atas penjelasan dari Hanoman, Sinta membungkam.  Hanoman menuturkan tentang titah Sang Rama untuk menemukan Sinta. Dengan seksama Sinta menyimak penuturan Hanoman. Kepercayaannya semakin kuat ketika Hanoman menunjukan cincin Rama. seketika air muka Sinta mulai beriak, ada setitik harapannya yang kini mulai berkembang. Ia pun memberikan cincinnya pada Hanoman, sebagai tanda bahwa Hanoman telah menemukannya.
***
Tak lama setelah itu,  perang dimulai. Kelapak kuda dan gemuruh genderang seakan seperti aba-aba untuk saling menyerang. Pasukan Rama menyerbu Alengka, satu demi satu  berguguran. Para wanara yang tertusuk pedang, tombak, dan panah. Darah bergelimang di antara hamparan tanah. Mayat berserakan, ada kepala, tangan, dan kaki yang terpisah. Semua saling melempar senjata, sambil mengibarkan panji-panji kebesaran. Perang memuncak ketika satu demi satu putra-putra Rahwana berguguran. Hingga akhirnya Rahwana pun akhirnya langsung turun ke medan pertempuran, dengan memakai pakaian perang, Rahwana memacu kereta emas terbaiknya.

Rahwana pun akhirnya berhadapan dengan Rama, pertarungan antara mereka berduapun dimulai. Dengan berbekal busur dan anak panah, Rama menangkis semua senjata yang diarahkan padanya. Hingga akhirnya panah Rama melesat tajam menuju jantung Rahwana.
***
Pertempuran usai, Sinta yang dulu disekap kini telah kembali. Bukannya wajah riang yang diperlihatkan Rama, tapi kemurunganlah yang ia ciptakan. Rama sangsi dengan kesucian Sinta.  Sinta pun langsung memerintah Laksmana untuk mengumpulkan kayu dan membakarnya. Api menjulang perlahan membakar kayu, perlahan Sinta mendekati pijaran api.
Perlahan Sinta mendekati api sambil bergumam dalam hatinya.
Sebagai perempuan, aku tidak ditakdirkan untuk menunggu, tapi menjemput. Di taman Asokawana, aku selalu mencari celah untuk pergi. Saat itu aku ingin menjaemputmu, tapi dinding-dinding Alengka teralu kuat untuk ku tembus seperti juga dinding hatimu yang sekarang telah ragu akan kesucianku.
 Tubuhku ini memang tercipta lemah terhadap Rahwana, tapi asal kau tahu, hati ini terlalu tangguh untuk dia robohkan. Rama, kini aku tahu bahwa kau mencintai kesucianku  bukan aku. Seperti angin yang cepat berhembus, hatimu cepat memutar haluan. Baiklah Rama aku takan menunggumu  menjatuhkan mati atas diriku. Biar aku yang menjemput mati, seperti hatiku yang ingin menjemput dirimu yang dulu.  
Batara Agni.. sampaikan isyarat hatiku padanya”.

Bandung, 2007-2009 

Cerpen ini dimuat di Harian Tribun Jabar tanggal 12 April 2009.