Minggu, 05 Februari 2012

Wangsit Mendut


Wangsit Mendut
Oleh Neneng Nurjanah

Judul Buku      : Rara Mendut sebuah trilogi
Penulis             : Y.B Mangun Wijaya
Penerbit          : PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun             : 2008
Jumlah halaman : 802 halaman

Kemerdekaan sampai saat ini hanyalah untuk budak bukan perempuan
(Nawal El Saadawi).

Ungkapan ini mungkin tepat menggambarkan tiga tokoh utama dari trilogi Rara Mendut  karya Alm. YB Mangun Widjaya. Karya trilogi ini memang memberikan warna tersendiri bagi khasanah kesususatraan Indonesia. Meskipun pernah dimuat bersambung di harian Kompas pada tahun 1982 dan diangkat ke layar putih tahun 1983, cerita Rara Mendut masih segar untuk kita nikmati sekarang, selain menceritakan perempuan, novel ini pun memberikan banyak kritik sosial yang tajam dan humor khas jawa.

            Trilogi ini dibagi kedalam tiga bagian utama yaitu bagian pertama: Rara Mendut, bagian kedua : Genduk Duku, dan bagian ketiga : Lusi Lindri. Cerita ini dimulai dari kisah Rara Mendut, seorang anak nelayan diculik untuk di jadikan selir Adipati Pranggola, pemimpin Kadipaten Pati. karena kekalahan oleh Mataram, maka  Mendut sebagai kekayaan tertinggi dari Kadipaten Pati diboyong ke Mataram. Ia beserta Genduk Duku dan dayang Puri Pati, Ni Semangka diangkut kemataram sebagai putri boyongan (hal 25 ) . Saat itu kerajaan Mataram berada pada puncak kejayaan dan menguasai hampir keseluruhan pulau jawa.

Dalam perjalanan prajurit mataram berusaha memperkosa Mendut, tapi Mendut  gigih menjaga keperawanannya sehingga Tumenggung Wiraguna terkagum dan timbul keinginan untuk menjadikannya sebagai selir. Meskipun sebagai perempuan rampasan yang tidak memiliki kekuasaan atas dirinya, Mendut menolak untuk dijadikan selir Panglima Besar Mataram itu, ia mengajukan permohonan untuk dibebaskan. Hingga akhirnya Mendut harus membayar pajak kepada Wiraguna sebagai kompensasi biaya hidup di Mataram (hal 128). Untuk membayar pajak, Mendut berjualan rokok hingga akhirnya ia bertemu dengan Pranacitra, pemuda yang ia dambakan waktu tinggal di Teluk Cikal, Cinta Mendut pun bersemi. Mengetahui hal itu, Wiraguna marah dan membunuh Mendut dan Pranacitra.

Kejadian terbunuhnya Mendut dan Pranacitra membuat Genduk Duku menjauhi kehidupan istana dan menikah dengan nelayan di pantai utara yang bernama Slamet, tapi keinginan untuk membalas budi kepada Nyi Pahit Madu menyebabkan Duku kembali pada kehidupan puri. Akhirnya Duku dan Slamet berada pada misi penyelamatan putri Tejarukmi, selir muda Wiraguna yang diculik oleh Putra Mahkota Mataram atau Pangeran Jibus. Perebutan inilah yang menyebabkan Slamet meninggal di tangan Wiraguna. Ia berusaha menyelamatkan putri Arumandi yang berada disamping Tejarukmi saat dibunuh Wiraguna karena dianggap telah berzina dengan sang Pangeran. Sedih karena Mendut dan suaminya mati di tangan Wiraguna menyebabkan Duku menjauh dari kehidupan kerajaan dan berdiam di gunung.  

Ulah pangeran Jibus menyebabkan kejayaan Mataram berangsur redup. Kesewenang-wenangan Pangeran Jibus sebagai putra mahkota menyebabkan kehidupan rakyat menderita terlebih ketika ia diangkat menjadi raja Mataram yang bergelar Aria Mataram atau Amangkurat. Baginya, perempuan yang tinggal di mataram boleh ia setubuhi meskipun sudah bersuami. Maka setiap kali ia melihat perempuan yang cantik kontan langsung ingin ia dapatkan.  Kondisi ini membuat Duku menitipkan anaknya Lusi di puri panglima mataram yang juga guru putra mahkota, Tumenggung Singaranu. Duku menganggap Tumenggung Singaranu sebagai  panglima yang jujur dan berwibawa sehingga Pangeran Jibus tidak akan berani macam-macam pada anaknya. Lusi pun dididik menjadi prajurit wanita. Karena keahliannya menggunakan senjata akhirnya Lusi diangkat menjadi penjaga Ratu Ibu yang bernama Trinisat Kenya. Saat itu Lusi banyak mendengar tentang kebobrokan dan intrik politik kerajaan mataram hingga akhirnya ia bergabung kedalam kelompok pemberontakan, sampai kelima anaknya menjadi korban perjuangan melawan kelaliman rezim raja Aria Mataram. Diakhir cerita, akhirnya kejayaan mataram berangsur pudar, lusi akhirnya berpindah dari Mataram.

***
Antara Cinta dan Negara
Dalam trilogi ini, Rama Mangun memang terlihat mahir meramu  cerita antara kenyataan fiksi dan fakta. Dengan pengembangan dari babad tanah jawi, Rama Mangun mengisi kenyataan sejarah dengan nilai filosofi jawa, sehingga setiap peristiwa yang mengalir dan menjadi lebih bermakna. Ada banyak hal yang terkandung dalam trilogi ini sehingga menjadi karya yang padat dan menyenangkan, menghibur dan mendidik, terlebih dengan tuturan yang lancar menambah kenikmatan dalam membaca  trilogi ini.

Pertama, Dalam setiap bagian trilogi menggunakan perempuan sebagai tokoh utama yaitu Rara mendut, Genduk Duku, dan Lusi Lindri. Penggunaan tokoh utama ini memunculkan tiga hal, yaitu pencitraan perempuan, tokoh perempuan sebagai fokalisator dalam memandang persoalan hidup dan kondisi perempuan sendiri.

Pencitraan perempuan dalam trilogi ini tergolong unik, ketiga tokoh ini merupakan citraan perempuan memiliki karakter yang kuat tanpa kehilangan sifat alami seorang perempuan. Seperti tokoh Rara Mendut, sebagai perempuan rampasan, ia tidak menyerah untuk memperoleh kebebasannya dan terlepas dari cengraman Wiraguna. Hasrat Wiraguna untuk menjadikan Mendut sebagai selir membuat Mendut ditimpa berbagai kesulitan. Dari mulai menari di depan umum sampai membayar pajak 10 real perhari, Mendut jalani gigih agar terlepas dari kekuasaan Wiraguna. Dari sikapnya, Mendut tergolong istimewa karena dengan lantang menolak dijadikan istri seorang Panglima Besar mataram (hal 116). Kemampuan untuk membayar pajak pada Wiraguna merupakan kemenangan Mendut atas syarat-syarat yang diajukan oleh Wiraguna. Kontan Wiraguna merasa harga dirinya diinjak, ia berpikir dengan pembebankan pajak itu Mendut akan bertekuk lutut, namun ternyata Mendut menunjukan kekuatannya sebagai perempuan. 

Begitupun tokoh Genduk duku dan Lusi Lindri, kedua tokoh ini dicitrakan sebagai perempuan penunggang kuda-saat itu perempuan tidak lazim menaiki kuda. Mereka bersikap patriot dan berusaha untuk membela kebenaran meskipun harus berkorban. Duku harus tegar ketika suaminya mati di tangan Wiraguna demi menolong Putri Arumandi, pun dengan Lusi yang harus rela kelima anaknya meninggal demi menumbangkan kelaliman penguasa Mataram. Pandangan tokoh Mendut pun menarik dalam mengugkapkan arti kecantikan, kecantikan baginya tak berguna ketika ia berada dalam kurungan, baginya kebebasan sebagai manusia lebih penting dari sekedar penampilan luar sebagai selir (hal 102). Ini kontras dengan pandang Putri Arumandi dan Nyai Ajeng (selir Wiraguna) yang mengungkapkan bahwa tugas wanita adalah untuk tetap ayu, menarik, dan menghiasi dunia dengan segala kenikmatan yang dimiliki (hal 408).

Kedua, yang menarik adalah trilogi ini membingkai peristiwa-peristiwa saat kegemilangan sampai pudarnya Kerajaan Mataram. Di bagian pertama, terlukis kerajaan mataram yang berhasil menaklukan Kadipaten Pati, menguasai tanah Jawa, dan menangkap para pelaut asing. Saat gemilang itu dicitrakan masyarakat Mataram sebagai gemah ripah loh jinawi. Pada bagian kedua mulailah kegemilangan itu redup karena ulah putra mahkota yang sewenang-wenang terhadap rakyatnya terlebih pada perempuan  dan di bagian ketiga di ceritakan Maratam mengalami kemunduran hingga kejatuhan (hal 623-775). Dari ketiga fase ini bisa diamati bagaimana kekuasaan yang kuat akhirnya redup karena keserakahan dan kesewenang-wenangan para petingginya. Kesetiaan terhadap kerajaan hanya berbentuk pengabdian saat perang dan penaklukan terhadap lawan di sisi lain petinggi kerajaan itu tetap saja sewenang-wenang terhadap rakyatnya.

Kondisi ini memunculkan kritik bahwa selama ini rakyat hanya diperalat dan dijadikan anak tangga yang diinjak untuk meraih singgasana dan kahyangan kenikmatan setiap kaum puri (hal 775). Rakyat tetap menderita bahkan dikenai pajak yang tinggi, sehingga muncul ungkapan bahwa selama ini raja selalu miskin karena meminta sedekah dari orang miskin (hal 714) dan pergantian raja tidak membawa perbaikan tapi sebatas pergantian rezim yang lalim.  

Selain seluk-beluk kekuasaan dan pertarungan yang sengit, trilogi ini bercerita juga tentang hubungan antara laki-laki dan perempuan. Dalam kosmologi jawa persetubuhan antara laki laki diumpamakan dengan penyatuan kamaratih. Kama artinya adalah dewa asmara dan ratih adalah dewi asmara. Penyatuan antara dewa Kama dan dewi Ratih tidak hanya sebatas persetubuhan yang membuahkan bayi, karena Perempuan bukan cuma sawah, tempat laki-laki menanam benih. Penyatuan panjalu (alat vital laki-laki) dan pawestri (alat vital perempuan) memiliki makna lebih dalam dan lebih serasi dengan martabat kemanusiaan. Penyatuan antara laki-laki dan perempuan semestinya merupakan Eka-Atma, yaitu penyatuan diri dan jiwa (hal. 784). Perempuan dalam hal ini bukan menjadi objek seksual, liyan melainkan unsur penyeimbang, saling mengisi dan memberi.
***
Wangsit Mendut
Membaca trilogi Rara Mendut ini memang memberikan kepuasan tersendiri, kita menelisik sejarah masa lampau yang secara tidak langsung kita belajar tentang kekokohan sekaligus kerapuhan raja-raja di tanah jawa. Selain itu gerak alur pengaruh Islam dan pelaut asing membawa kita pada zaman awal mula penjajahan yaitu pada abad ke-17.

Membaca trilogi ini, seakan–akan kita menerima wangsit dari Rara mendut untuk berjuang dalam kondisi sesulit apapun, tidak ada kata menyerah. Meskipun saat itu kondisi perempuan teramat memprihatinkan, tubuh perempuan hanya berfungsi untuk memuaskan nafsu para penguasa. Sementara disisi lain perempuan dituding sebagai penyebab keruntuhan sebuah kekuasaan. Padahal keserakan penguasalah yang menyebabkan perempuan ada pada kondisi yang parah. Sehingga kemerdekaan atas tubuh perempuan harus dibayar dengan mahal. Penolakan mendut atas pinangan Wiraguna merupakan sikap politik memperjuangkan kuasa atas tubuhnya (personal is politic).

Pun ketika menghayati kegigihan para tokoh membuat kita terharu dan membangun spirit perlawanan terhadap kejahatan rezim, kritik tajam ini masih relevan dengan keadaan kita saat ini. Trilogi ini pun mungkin bisa membantu para wakil rakyat kita yang sedang gencar berpromosi untuk tidak lupa akan sejarah. Sejarah penjajahan yang tidak hanya dilakukan oleh Belanda melainkan juga oleh kerajaan-kerajaan besar nusantara. Sejarah tentang raja-raja yang menjadikan rakyat sebagai anak tangga untuk memperoleh kekuasaan dan sejarah yang mencetak para Raja miskin yang hanya mampu meminta pajak dari rakyat miskin tanpa mampu memberikan kesejahteraan yang hakiki.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar