Wangsit Mendut
Judul Buku : Rara Mendut sebuah trilogi
Penulis : Y.B Mangun Wijaya
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 2008
Jumlah halaman : 802 halaman
Kemerdekaan sampai saat ini hanyalah untuk budak bukan perempuan
(Nawal El Saadawi).
Ungkapan ini
mungkin tepat menggambarkan tiga tokoh utama dari trilogi Rara Mendut karya Alm. YB Mangun Widjaya. Karya trilogi ini memang
memberikan warna tersendiri bagi khasanah kesususatraan Indonesia. Meskipun pernah dimuat bersambung
di harian Kompas pada tahun 1982 dan diangkat ke layar putih tahun 1983, cerita
Rara Mendut masih segar untuk kita nikmati sekarang, selain menceritakan
perempuan, novel ini pun memberikan banyak kritik sosial yang tajam dan humor khas
jawa.
Trilogi ini dibagi kedalam tiga
bagian utama yaitu bagian pertama: Rara Mendut, bagian kedua : Genduk Duku, dan
bagian ketiga : Lusi Lindri. Cerita ini dimulai dari kisah Rara Mendut, seorang
anak nelayan diculik untuk di jadikan selir Adipati Pranggola, pemimpin
Kadipaten Pati. karena kekalahan oleh Mataram, maka Mendut sebagai kekayaan tertinggi dari
Kadipaten Pati diboyong ke Mataram. Ia beserta Genduk Duku dan dayang Puri
Pati, Ni Semangka diangkut kemataram sebagai putri boyongan (hal 25 ) . Saat
itu kerajaan Mataram berada pada puncak kejayaan dan menguasai hampir
keseluruhan pulau jawa.
Dalam perjalanan prajurit mataram
berusaha memperkosa Mendut, tapi Mendut gigih
menjaga keperawanannya sehingga Tumenggung Wiraguna terkagum dan timbul
keinginan untuk menjadikannya sebagai selir. Meskipun sebagai perempuan
rampasan yang tidak memiliki kekuasaan atas dirinya, Mendut menolak untuk
dijadikan selir Panglima Besar Mataram itu, ia mengajukan permohonan untuk
dibebaskan. Hingga akhirnya Mendut harus membayar pajak kepada Wiraguna sebagai
kompensasi biaya hidup di Mataram (hal 128). Untuk membayar pajak, Mendut berjualan
rokok hingga akhirnya ia bertemu dengan Pranacitra, pemuda yang ia dambakan waktu
tinggal di Teluk Cikal, Cinta Mendut pun bersemi. Mengetahui hal
itu, Wiraguna marah dan membunuh Mendut dan Pranacitra.
Kejadian terbunuhnya Mendut dan
Pranacitra membuat Genduk Duku menjauhi kehidupan istana dan menikah dengan
nelayan di pantai utara yang bernama Slamet, tapi keinginan untuk membalas budi
kepada Nyi Pahit Madu menyebabkan Duku kembali pada kehidupan puri. Akhirnya Duku
dan Slamet berada pada misi penyelamatan putri Tejarukmi, selir muda Wiraguna yang
diculik oleh Putra Mahkota Mataram atau Pangeran Jibus. Perebutan inilah yang
menyebabkan Slamet meninggal di tangan Wiraguna. Ia berusaha menyelamatkan
putri Arumandi yang berada disamping Tejarukmi saat dibunuh Wiraguna karena dianggap
telah berzina dengan sang Pangeran. Sedih karena Mendut dan suaminya mati di
tangan Wiraguna menyebabkan Duku menjauh dari kehidupan kerajaan dan berdiam di
gunung.
Ulah
pangeran Jibus menyebabkan kejayaan Mataram berangsur redup. Kesewenang-wenangan
Pangeran Jibus sebagai putra mahkota menyebabkan kehidupan rakyat menderita
terlebih ketika ia diangkat menjadi raja Mataram yang bergelar Aria Mataram
atau Amangkurat. Baginya, perempuan yang tinggal di mataram boleh ia setubuhi
meskipun sudah bersuami. Maka setiap kali ia melihat perempuan yang cantik
kontan langsung ingin ia dapatkan.
Kondisi ini membuat Duku menitipkan anaknya Lusi di puri panglima mataram
yang juga guru putra mahkota, Tumenggung Singaranu. Duku menganggap Tumenggung Singaranu
sebagai panglima yang jujur dan
berwibawa sehingga Pangeran Jibus tidak akan berani macam-macam pada anaknya.
Lusi pun dididik menjadi prajurit wanita. Karena keahliannya menggunakan
senjata akhirnya Lusi diangkat menjadi penjaga Ratu Ibu yang bernama Trinisat Kenya.
Saat itu Lusi banyak mendengar tentang kebobrokan dan intrik politik kerajaan
mataram hingga akhirnya ia bergabung kedalam kelompok pemberontakan, sampai
kelima anaknya menjadi korban perjuangan melawan kelaliman rezim raja Aria
Mataram. Diakhir cerita, akhirnya kejayaan mataram berangsur pudar, lusi
akhirnya berpindah dari Mataram.
***
Antara Cinta dan Negara
Dalam trilogi ini, Rama Mangun memang
terlihat mahir meramu cerita antara
kenyataan fiksi dan fakta. Dengan pengembangan dari babad tanah jawi, Rama
Mangun mengisi kenyataan sejarah dengan nilai filosofi jawa, sehingga setiap
peristiwa yang mengalir dan menjadi lebih bermakna. Ada banyak hal yang terkandung dalam trilogi
ini sehingga menjadi karya yang padat dan menyenangkan, menghibur dan mendidik,
terlebih dengan tuturan yang lancar menambah kenikmatan dalam membaca trilogi ini.
Pertama, Dalam setiap bagian
trilogi menggunakan perempuan sebagai tokoh utama yaitu Rara mendut, Genduk
Duku, dan Lusi Lindri. Penggunaan tokoh utama ini memunculkan tiga hal, yaitu
pencitraan perempuan, tokoh perempuan sebagai fokalisator dalam memandang persoalan
hidup dan kondisi perempuan sendiri.
Pencitraan perempuan dalam
trilogi ini tergolong unik, ketiga tokoh ini merupakan citraan perempuan
memiliki karakter yang kuat tanpa kehilangan sifat alami seorang perempuan. Seperti
tokoh Rara Mendut, sebagai perempuan rampasan, ia tidak menyerah untuk
memperoleh kebebasannya dan terlepas dari cengraman Wiraguna. Hasrat Wiraguna
untuk menjadikan Mendut sebagai selir membuat Mendut ditimpa berbagai kesulitan.
Dari mulai menari di depan umum sampai membayar pajak 10 real perhari, Mendut
jalani gigih agar terlepas dari kekuasaan Wiraguna. Dari
sikapnya, Mendut tergolong istimewa karena dengan lantang menolak dijadikan
istri seorang Panglima Besar mataram (hal 116). Kemampuan untuk membayar pajak
pada Wiraguna merupakan kemenangan Mendut atas syarat-syarat yang diajukan oleh
Wiraguna. Kontan Wiraguna merasa harga dirinya diinjak, ia berpikir dengan
pembebankan pajak itu Mendut akan bertekuk lutut, namun ternyata Mendut
menunjukan kekuatannya sebagai perempuan.
Begitupun
tokoh Genduk duku dan Lusi Lindri, kedua tokoh ini dicitrakan sebagai perempuan
penunggang kuda-saat itu perempuan tidak lazim menaiki kuda. Mereka bersikap
patriot dan berusaha untuk membela kebenaran meskipun harus berkorban. Duku
harus tegar ketika suaminya mati di tangan Wiraguna demi menolong Putri
Arumandi, pun dengan Lusi yang harus rela kelima anaknya meninggal demi
menumbangkan kelaliman penguasa Mataram. Pandangan tokoh Mendut pun menarik
dalam mengugkapkan arti kecantikan, kecantikan baginya tak berguna ketika ia
berada dalam kurungan, baginya kebebasan sebagai manusia lebih penting dari
sekedar penampilan luar sebagai selir (hal 102). Ini kontras dengan pandang
Putri Arumandi dan Nyai Ajeng (selir Wiraguna) yang mengungkapkan bahwa tugas
wanita adalah untuk tetap ayu, menarik, dan menghiasi dunia dengan segala
kenikmatan yang dimiliki (hal 408).
Kedua, yang
menarik adalah trilogi ini membingkai peristiwa-peristiwa saat kegemilangan
sampai pudarnya Kerajaan Mataram. Di bagian pertama, terlukis kerajaan mataram
yang berhasil menaklukan Kadipaten Pati, menguasai tanah Jawa, dan menangkap
para pelaut asing. Saat gemilang itu dicitrakan masyarakat Mataram sebagai gemah ripah loh jinawi. Pada bagian kedua
mulailah kegemilangan itu redup karena ulah putra mahkota yang sewenang-wenang terhadap
rakyatnya terlebih pada perempuan dan di
bagian ketiga di ceritakan Maratam mengalami kemunduran hingga kejatuhan (hal
623-775). Dari ketiga fase ini bisa diamati bagaimana kekuasaan yang kuat
akhirnya redup karena keserakahan dan kesewenang-wenangan para petingginya.
Kesetiaan terhadap kerajaan hanya berbentuk pengabdian saat perang dan
penaklukan terhadap lawan di sisi lain petinggi kerajaan itu tetap saja
sewenang-wenang terhadap rakyatnya.
Kondisi ini
memunculkan kritik bahwa selama ini rakyat hanya diperalat dan dijadikan anak
tangga yang diinjak untuk meraih singgasana dan kahyangan kenikmatan setiap
kaum puri (hal 775). Rakyat tetap menderita bahkan dikenai pajak yang tinggi,
sehingga muncul ungkapan bahwa selama ini raja selalu miskin karena meminta
sedekah dari orang miskin (hal 714) dan pergantian raja tidak membawa perbaikan
tapi sebatas pergantian rezim yang lalim.
Selain
seluk-beluk kekuasaan dan pertarungan yang sengit, trilogi ini bercerita juga
tentang hubungan antara laki-laki dan perempuan. Dalam
kosmologi jawa persetubuhan antara laki laki diumpamakan dengan penyatuan kamaratih.
Kama artinya adalah dewa asmara dan ratih adalah dewi asmara. Penyatuan antara
dewa Kama dan dewi Ratih tidak hanya sebatas persetubuhan yang membuahkan bayi,
karena Perempuan bukan cuma sawah, tempat laki-laki menanam benih. Penyatuan panjalu
(alat vital laki-laki) dan pawestri (alat vital perempuan) memiliki makna lebih
dalam dan lebih serasi dengan martabat kemanusiaan. Penyatuan antara laki-laki
dan perempuan semestinya merupakan Eka-Atma, yaitu penyatuan diri dan jiwa (hal.
784). Perempuan dalam hal ini bukan menjadi objek seksual, liyan melainkan
unsur penyeimbang, saling mengisi dan memberi.
***
Wangsit Mendut
Membaca
trilogi Rara Mendut ini memang memberikan kepuasan tersendiri, kita menelisik
sejarah masa lampau yang secara tidak langsung kita belajar tentang kekokohan
sekaligus kerapuhan raja-raja di tanah jawa. Selain itu gerak alur pengaruh Islam
dan pelaut asing membawa kita pada zaman awal mula penjajahan yaitu pada abad
ke-17.
Membaca
trilogi ini, seakan–akan kita menerima wangsit dari Rara mendut untuk berjuang
dalam kondisi sesulit apapun, tidak ada kata menyerah. Meskipun saat itu
kondisi perempuan teramat memprihatinkan, tubuh perempuan hanya berfungsi untuk
memuaskan nafsu para penguasa. Sementara disisi lain perempuan dituding sebagai
penyebab keruntuhan sebuah kekuasaan. Padahal keserakan penguasalah yang
menyebabkan perempuan ada pada kondisi yang parah. Sehingga kemerdekaan atas
tubuh perempuan harus dibayar dengan mahal. Penolakan mendut atas pinangan
Wiraguna merupakan sikap politik memperjuangkan kuasa atas tubuhnya (personal is politic).
Pun ketika
menghayati kegigihan para tokoh membuat kita terharu dan membangun spirit
perlawanan terhadap kejahatan rezim, kritik tajam ini masih relevan dengan
keadaan kita saat ini. Trilogi ini pun mungkin bisa membantu para wakil rakyat
kita yang sedang gencar berpromosi untuk tidak lupa akan sejarah. Sejarah
penjajahan yang tidak hanya dilakukan oleh Belanda melainkan juga oleh
kerajaan-kerajaan besar nusantara. Sejarah tentang raja-raja yang
menjadikan rakyat sebagai anak tangga untuk memperoleh kekuasaan dan sejarah
yang mencetak para Raja miskin yang hanya mampu meminta pajak dari rakyat
miskin tanpa mampu memberikan kesejahteraan yang hakiki.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar