Perempuan
yang Menikah dengan Angin
Kini semua telah berakhir.
Batin Sinta memuai bagai cairan magma, berpijar sepanas api. Matanya meleleh,
seberkas cahaya menguap menjadi kabut. “Aku kini seperti mayat hidup” kata Sinta. “Tak
ada lagi harapan yang mesti kusimpan karena kini Rama tak lagi percaya. Ia tak
lagi setia pada kata-katanya. Biarkan aku melebur bersama api. Biarkan angin yang
menikahi keperawanan hatiku.”
Sintapun tenggelam dalam
kobaran api. Terbakarlah tubuhnya dijilati cahaya panas menjulang. Di sela-sela
terakhir hidupnya batinnya berbisik “ Dewa, adilkah ini, telah ku jaga setiap
rasa untuknya. Inikah balasan ketulusan cintaku?” “Dewa, izinkan kenanganku menghantuinya
agar Rama sadar arti perempuan”.
Detik
demi detik berlalu. Sinta pun menyatu
sempurna dengan api. Tak ada lagi tubuh siluet biola dan rambut hitam tergerai.
Aroma tubuh terbakar menyeruak di antara jari-jari angin. Tubuh Sinta menguap
ke udara, membakar seluruh amarah dan asmara. Di sela-sela terakhir senyum Sinta
terselip air mata menyelinap diantara asap.
***
Sinta mengalami nasib yang
tragis setelah penyerangan negeri Alengka. Ia
menjadi orang asing di mata Rama. Padahal sebelumnya, Rama dan Sinta
adalah pasangan yang dianugrahi karunia dewa-dewi kahyangan. Setiap gerak langkah mereka
adalah harapan kejayaan bumi dan anugrah langit.
“Sinta,
sediakah engkau untuk selalu disisiku. Menemaniku disaat susah, menjagaku
disaat suka, menikmati setiap aliran kehidupan sampai muara kematian” ujar Rama
pada Sinta, dibelainya Sinta saat itu, kuning muka Sinta tiba-tiba memerah,
darahnya mendidih, hasratnya merangkak naik hingga batas kulminasi. Seraya
Sinta berkata “Kanda, ketika Kanda setia menjaga setiap rasa, setiap kata yang
ucapkan pada Dinda, duri dan bunga kita jalani bersama. Dinda selalu sedia
untuk Kanda, asal Kanda setia pada kata-kata”. Merekapun tanggelam dalam asmara. Setiap hari
serasa musim semi, bunga-bunga yang kuncup kini memekar. Awan yang kelabu, kini
membiru malu saat melihat pasangan itu berjalan diantara rerimbunan pohon
menuju Kerajaan Kosala. Suara
burung, seakan menyanyikan lagu cinta berulang-ulang, merekapun saling melempar
senyum, dan Rama mulai menggenggam tangan Sinta. Dan sempurnalah dunia milik
mereka berdua.
Hari-hari berjalan selayak
putaran bumi yang menari di atas garis edarnya. Hingga suatu ketika ketika Rama akan dinobatkan menjadi raja di
kerajaan Ayodya. Seketika Kaikayi menagih janji pada paduka Dasarata, awal
petaka dimulai.
Rama yang direncanakan menjadi
raja Kosala, malah memperoleh pengasingan selama 14 tahun. Seluruh warga
kerajaan geger, Dewi Kausalya, ibu Rama seketika sedih mendengar kabar
pengasingan Rama.
Dengan bijak dan tenang, Rama mendamaikan
hati ibunya “Bunda, suratan takdir belum mengizinkanku naik tahta. Pengasingan
ini membuat hamba bangga kepada Ayahanda yang berani menepati janji. Tak perlu
sedih Bunda, sebentar lagi hamba akan kembali kepelukanmu ” seketika Dewi
Kausalya murung dan pingsan.
Di depan Balai penghadapan
khusus, Rama dan Laksmana melepas pakaian kebesaran dan menggantinya dengan
walkala, giliran Sinta dengan tenang dan tanpa risi ia berganti pakaian dibantu
oleh Rama. Berbekal
makanan, pakaian dan senjata mereka meluncur dengan cepat menuju hutan Dandaka.
***
“Rama
apakah sudah melupakanku?” ujar Sinta dalam hatinya sambil menitikan air mata.
Keindahan taman Asokawana tak sebiji zarahpun menyentuh hatinya. Harum mawar,
melati, cempaka dan teratai tak sedikitpun menghadirkan keceriaan baginya.
Sintapun
memutar ingatannya sambil bergumam.
Rama, aku selalu ingat saat matamu memanah hatiku. Ketika
kau, Laksmana dan Resi Wiswamitra melintas kolam alun-alun kerajaan Mithila. Kau
selayak dewa, wajah yang teduh, tubuh gagah dan mata yang tajam. Sungguh, aku tak
mampu melupakanmu. Bayanganmu membuatku tak bisa mengenal diriku. Hatiku risau
mengingatmu. Meski kau tak ku kenal, tapi hatiku selalu tertuju padamu. Pandanganku
selalu mencermati bayanganmu.
Hingga suatu saat, kau datang pada ayahku dan mematahkan
panah dewa Siwa. Serta merta kau mememangkan sayembara atas diriku. Apakah kau
lupa saat kau meminangku sebagai pendampingmu. Ah.. Rama disini
aku sendiri, tanpamu.
Rama, salahkah aku, ketika aku hanya menginginkan kijang kencana?
Dosa besarkah itu, sehingga aku terkena petaka ini. Bukan kah dulu Hawa juga
pernah meminta khuldi pada Adam, tapi bukankah itu yang membuat Adam semakin cinta pada Hawa dan
membuatnya sempurna sebagai manusia.
Air mata sinta mengalir dengan
deras. Paras sinta yang ayu, kini pudar bersama jiwa yang sendu. Tak ada lagi
semangat yang ia punya. Kain sari yang lusuh, kulitnya kusam, air muka suram,
dan rambut kusut, menyempurnakan kekalutan batinnya. Pernah suatu kali datang Rahwana
ditemani istri-istrinya. Dengan rayuannya, ia memohon Sinta agar mau jadi
istrinya. Tapi, Sinta begitu teguh, rayuan Rahwana tak lebih dari debu jalanan.
“Setiap
yang aku mau aku pasti mendapatkannya ? Perempuan di penjuru manapun bisa ku
dapatkan, tapi kenapa dengan Sinta? Kerajaan Alengka akan
kuberkikan jika Sinta mau” ujar Rahwana pada dirinya. “Tak pernah Aku merendahkan diri sehina ini di depan perempuan, dan tak secuil perasaan
Sinta tersisa untukku. Tapi biarkanlah, biarkan waktu yang melucuti kesetiaanya”
ujar Rahwana dalam hatinya.
***
Di
sisi lain, Rama beserta rombongannya sibuk menghimpun kekuatan untuk menggempur
Alengka. Ia mengutus Hanoman selama 30
hari untuk mencari kabar Sinta.. Hanoman pun meluncur ke Negeri Alengka. Setibanya
di pantai Alengka, ia merasa takjub dengan Negara para Raksasa ini. Sawah hijau
terhampar selayak permadani. Keriuhan para raksasa dan ketatnya penjagaan
membuatnya harus menyamar menjadi kera seukuran anak kucing. Ia pun melaju
menuju ibukota Trikurta dan mencari istana Rahwana.
Di Istana, Rahwana mencermati perempuan-perempuan
cantik. Tapi, semua tampak tak sepadan dengan gambaran Sinta. Ia pun
menyelusup sampai di taman Asokawana, taman yang biasa digunakan oleh Rahwana untuk
menaklukan perempuan hasil rampasan perang.
Disana Hanoman melihat sesosok
perempuan mamakai kain sutra kuning yang
lusuh, matanya sembab, rambut panjangnya kusut. Ia cantik, anggun, namun air mukanya menyimpan duka
yang dalam. Tatapannya sayu seakan dunia selalu suram.
Hanoman
memanggil Sinta seraya menunjukan wujud aslinya. Sontak Sinta
hampir berteriak. Namun, atas penjelasan dari Hanoman, Sinta membungkam. Hanoman menuturkan tentang titah Sang Rama
untuk menemukan Sinta. Dengan seksama Sinta menyimak penuturan Hanoman.
Kepercayaannya semakin kuat ketika Hanoman menunjukan cincin Rama. seketika air
muka Sinta mulai beriak, ada setitik harapannya yang kini mulai berkembang. Ia pun
memberikan cincinnya pada Hanoman, sebagai tanda bahwa Hanoman telah
menemukannya.
***
Tak lama setelah itu, perang dimulai. Kelapak kuda dan gemuruh
genderang seakan seperti aba-aba untuk saling menyerang. Pasukan Rama menyerbu Alengka,
satu demi satu berguguran. Para wanara yang tertusuk pedang, tombak, dan panah. Darah
bergelimang di antara hamparan tanah. Mayat berserakan, ada kepala, tangan, dan
kaki yang terpisah. Semua
saling melempar senjata, sambil mengibarkan panji-panji kebesaran. Perang
memuncak ketika satu demi satu putra-putra Rahwana berguguran. Hingga akhirnya Rahwana
pun akhirnya langsung turun ke medan
pertempuran, dengan memakai pakaian perang, Rahwana memacu kereta emas
terbaiknya.
Rahwana
pun akhirnya berhadapan dengan Rama, pertarungan antara mereka berduapun
dimulai. Dengan berbekal busur dan anak panah, Rama menangkis semua senjata
yang diarahkan padanya. Hingga akhirnya panah Rama melesat tajam menuju jantung
Rahwana.
***
Pertempuran
usai, Sinta yang dulu disekap kini telah kembali. Bukannya wajah riang yang
diperlihatkan Rama, tapi kemurunganlah yang ia ciptakan. Rama sangsi
dengan kesucian Sinta. Sinta pun
langsung memerintah Laksmana untuk mengumpulkan kayu dan membakarnya. Api
menjulang perlahan membakar kayu, perlahan Sinta mendekati pijaran api.
Perlahan Sinta mendekati api
sambil bergumam dalam hatinya.
”Sebagai perempuan, aku tidak ditakdirkan
untuk menunggu, tapi menjemput. Di taman Asokawana, aku selalu mencari celah
untuk pergi. Saat itu aku ingin menjaemputmu, tapi dinding-dinding Alengka
teralu kuat untuk ku tembus seperti juga dinding hatimu yang sekarang telah
ragu akan kesucianku.
Tubuhku ini memang tercipta lemah
terhadap Rahwana, tapi asal kau tahu, hati ini terlalu tangguh untuk dia
robohkan. Rama, kini aku tahu bahwa kau mencintai kesucianku bukan aku. Seperti angin yang cepat berhembus,
hatimu cepat memutar haluan. Baiklah Rama aku takan menunggumu menjatuhkan mati atas diriku. Biar aku yang
menjemput mati, seperti hatiku yang ingin menjemput dirimu yang dulu.
Batara Agni.. sampaikan isyarat hatiku padanya”.
Bandung, 2007-2009
Cerpen ini dimuat di Harian Tribun Jabar tanggal 12 April 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar