Kamis, 02 Februari 2012

Perempuan yang Menikah dengan Angin


Perempuan yang Menikah dengan Angin


Kini semua telah berakhir. Batin Sinta memuai bagai cairan magma, berpijar sepanas api. Matanya meleleh, seberkas cahaya menguap menjadi kabut.  “Aku kini seperti mayat hidup” kata Sinta. “Tak ada lagi harapan yang mesti kusimpan karena kini Rama tak lagi percaya. Ia tak lagi setia pada kata-katanya. Biarkan aku melebur bersama api. Biarkan angin yang menikahi keperawanan hatiku.”

Sintapun tenggelam dalam kobaran api. Terbakarlah tubuhnya dijilati cahaya panas menjulang. Di sela-sela terakhir hidupnya batinnya berbisik “ Dewa, adilkah ini, telah ku jaga setiap rasa untuknya. Inikah balasan ketulusan cintaku?” “Dewa, izinkan kenanganku menghantuinya agar Rama sadar arti perempuan”.

Detik demi detik berlalu.  Sinta pun menyatu sempurna dengan api. Tak ada lagi tubuh siluet biola dan rambut hitam tergerai. Aroma tubuh terbakar menyeruak di antara jari-jari angin. Tubuh Sinta menguap ke udara, membakar seluruh amarah dan asmara. Di sela-sela terakhir senyum Sinta terselip air mata menyelinap diantara asap.
***
Sinta mengalami nasib yang tragis setelah penyerangan negeri Alengka. Ia  menjadi orang asing di mata Rama. Padahal sebelumnya, Rama dan Sinta adalah pasangan yang dianugrahi karunia dewa-dewi kahyangan. Setiap gerak langkah mereka adalah harapan kejayaan bumi dan anugrah langit.

“Sinta, sediakah engkau untuk selalu disisiku. Menemaniku disaat susah, menjagaku disaat suka, menikmati setiap aliran kehidupan sampai muara kematian” ujar Rama pada Sinta, dibelainya Sinta saat itu, kuning muka Sinta tiba-tiba memerah, darahnya mendidih, hasratnya merangkak naik hingga batas kulminasi. Seraya Sinta berkata “Kanda, ketika Kanda setia menjaga setiap rasa, setiap kata yang ucapkan pada Dinda, duri dan bunga kita jalani bersama. Dinda selalu sedia untuk Kanda, asal Kanda setia pada kata-kata”. Merekapun tanggelam dalam asmara. Setiap hari serasa musim semi, bunga-bunga yang kuncup kini memekar. Awan yang kelabu, kini membiru malu saat melihat pasangan itu berjalan diantara rerimbunan pohon menuju Kerajaan Kosala. Suara burung, seakan menyanyikan lagu cinta berulang-ulang, merekapun saling melempar senyum, dan Rama mulai menggenggam tangan Sinta. Dan sempurnalah dunia milik mereka berdua.

Hari-hari berjalan selayak putaran bumi yang menari di atas garis edarnya. Hingga suatu ketika  ketika Rama akan dinobatkan menjadi raja di kerajaan Ayodya. Seketika Kaikayi menagih janji pada paduka Dasarata, awal petaka dimulai.

Rama yang direncanakan menjadi raja Kosala, malah memperoleh pengasingan selama 14 tahun. Seluruh warga kerajaan geger, Dewi Kausalya, ibu Rama seketika sedih mendengar kabar pengasingan Rama.

Dengan bijak dan tenang, Rama mendamaikan hati ibunya “Bunda, suratan takdir belum mengizinkanku naik tahta. Pengasingan ini membuat hamba bangga kepada Ayahanda yang berani menepati janji. Tak perlu sedih Bunda, sebentar lagi hamba akan kembali kepelukanmu ” seketika Dewi Kausalya murung dan pingsan.

Di depan Balai penghadapan khusus, Rama dan Laksmana melepas pakaian kebesaran dan menggantinya dengan walkala, giliran Sinta dengan tenang dan tanpa risi ia berganti pakaian dibantu oleh Rama.   Berbekal makanan, pakaian dan senjata mereka meluncur dengan cepat menuju hutan Dandaka.
***
“Rama apakah sudah melupakanku?” ujar Sinta dalam hatinya sambil menitikan air mata. Keindahan taman Asokawana tak sebiji zarahpun menyentuh hatinya. Harum mawar, melati, cempaka dan teratai tak sedikitpun menghadirkan keceriaan baginya.
Sintapun memutar ingatannya sambil bergumam.
Rama, aku selalu ingat saat matamu memanah hatiku. Ketika kau, Laksmana dan Resi Wiswamitra melintas kolam alun-alun kerajaan Mithila. Kau selayak dewa, wajah yang teduh, tubuh gagah dan mata yang tajam. Sungguh, aku tak mampu melupakanmu. Bayanganmu membuatku tak bisa mengenal diriku. Hatiku risau mengingatmu. Meski kau tak ku kenal, tapi hatiku selalu tertuju padamu. Pandanganku selalu mencermati bayanganmu.

Hingga suatu saat, kau datang pada ayahku dan mematahkan panah dewa Siwa. Serta merta kau mememangkan sayembara atas diriku. Apakah kau lupa saat kau meminangku sebagai pendampingmu. Ah.. Rama disini aku sendiri, tanpamu.

Rama, salahkah aku, ketika aku hanya menginginkan kijang kencana? Dosa besarkah itu, sehingga aku terkena petaka ini. Bukan kah dulu Hawa juga pernah meminta khuldi pada Adam, tapi bukankah itu  yang membuat Adam semakin cinta pada Hawa dan membuatnya sempurna sebagai manusia.

Air mata sinta mengalir dengan deras. Paras sinta yang ayu, kini pudar bersama jiwa yang sendu. Tak ada lagi semangat yang ia punya. Kain sari yang lusuh, kulitnya kusam, air muka suram, dan rambut kusut, menyempurnakan kekalutan batinnya. Pernah suatu kali datang Rahwana ditemani istri-istrinya. Dengan rayuannya, ia memohon Sinta agar mau jadi istrinya. Tapi, Sinta begitu teguh, rayuan Rahwana tak lebih dari debu jalanan.

“Setiap yang aku mau aku pasti mendapatkannya ? Perempuan di penjuru manapun bisa ku dapatkan, tapi kenapa dengan Sinta? Kerajaan Alengka akan kuberkikan jika Sinta mau” ujar Rahwana pada dirinya. “Tak pernah Aku  merendahkan diri sehina ini  di depan perempuan, dan tak secuil perasaan Sinta tersisa untukku. Tapi biarkanlah, biarkan waktu yang melucuti kesetiaanya” ujar Rahwana dalam hatinya.
***
Di sisi lain, Rama beserta rombongannya sibuk menghimpun kekuatan untuk menggempur Alengka. Ia mengutus Hanoman  selama 30 hari untuk mencari kabar Sinta.. Hanoman pun meluncur ke Negeri Alengka. Setibanya di pantai Alengka, ia merasa takjub dengan Negara para Raksasa ini. Sawah hijau terhampar selayak permadani. Keriuhan para raksasa dan ketatnya penjagaan membuatnya harus menyamar menjadi kera seukuran anak kucing. Ia pun melaju menuju ibukota Trikurta dan mencari istana Rahwana.

Di Istana, Rahwana mencermati perempuan-perempuan cantik. Tapi, semua tampak tak sepadan dengan gambaran Sinta. Ia pun menyelusup sampai di taman Asokawana, taman yang biasa digunakan oleh Rahwana untuk menaklukan perempuan hasil rampasan perang.

Disana Hanoman melihat sesosok perempuan  mamakai kain sutra kuning yang lusuh, matanya sembab, rambut panjangnya kusut. Ia cantik, anggun, namun air mukanya menyimpan duka yang dalam. Tatapannya sayu seakan dunia selalu suram.

Hanoman memanggil Sinta seraya menunjukan wujud aslinya. Sontak Sinta hampir berteriak. Namun, atas penjelasan dari Hanoman, Sinta membungkam.  Hanoman menuturkan tentang titah Sang Rama untuk menemukan Sinta. Dengan seksama Sinta menyimak penuturan Hanoman. Kepercayaannya semakin kuat ketika Hanoman menunjukan cincin Rama. seketika air muka Sinta mulai beriak, ada setitik harapannya yang kini mulai berkembang. Ia pun memberikan cincinnya pada Hanoman, sebagai tanda bahwa Hanoman telah menemukannya.
***
Tak lama setelah itu,  perang dimulai. Kelapak kuda dan gemuruh genderang seakan seperti aba-aba untuk saling menyerang. Pasukan Rama menyerbu Alengka, satu demi satu  berguguran. Para wanara yang tertusuk pedang, tombak, dan panah. Darah bergelimang di antara hamparan tanah. Mayat berserakan, ada kepala, tangan, dan kaki yang terpisah. Semua saling melempar senjata, sambil mengibarkan panji-panji kebesaran. Perang memuncak ketika satu demi satu putra-putra Rahwana berguguran. Hingga akhirnya Rahwana pun akhirnya langsung turun ke medan pertempuran, dengan memakai pakaian perang, Rahwana memacu kereta emas terbaiknya.

Rahwana pun akhirnya berhadapan dengan Rama, pertarungan antara mereka berduapun dimulai. Dengan berbekal busur dan anak panah, Rama menangkis semua senjata yang diarahkan padanya. Hingga akhirnya panah Rama melesat tajam menuju jantung Rahwana.
***
Pertempuran usai, Sinta yang dulu disekap kini telah kembali. Bukannya wajah riang yang diperlihatkan Rama, tapi kemurunganlah yang ia ciptakan. Rama sangsi dengan kesucian Sinta.  Sinta pun langsung memerintah Laksmana untuk mengumpulkan kayu dan membakarnya. Api menjulang perlahan membakar kayu, perlahan Sinta mendekati pijaran api.
Perlahan Sinta mendekati api sambil bergumam dalam hatinya.
Sebagai perempuan, aku tidak ditakdirkan untuk menunggu, tapi menjemput. Di taman Asokawana, aku selalu mencari celah untuk pergi. Saat itu aku ingin menjaemputmu, tapi dinding-dinding Alengka teralu kuat untuk ku tembus seperti juga dinding hatimu yang sekarang telah ragu akan kesucianku.
 Tubuhku ini memang tercipta lemah terhadap Rahwana, tapi asal kau tahu, hati ini terlalu tangguh untuk dia robohkan. Rama, kini aku tahu bahwa kau mencintai kesucianku  bukan aku. Seperti angin yang cepat berhembus, hatimu cepat memutar haluan. Baiklah Rama aku takan menunggumu  menjatuhkan mati atas diriku. Biar aku yang menjemput mati, seperti hatiku yang ingin menjemput dirimu yang dulu.  
Batara Agni.. sampaikan isyarat hatiku padanya”.

Bandung, 2007-2009 

Cerpen ini dimuat di Harian Tribun Jabar tanggal 12 April 2009.



 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar