Oleh : N. Nurjanah
Syahdan, Tony berdiri di atas
panggung. Air muka yang resah tergambar dalam garis wajahnya. Dirabanya dinding,
Dipeganginya dada yang sesak. Kegelapan dan udara pengap semakin menghimpit
paru-parunya. Ia berteriak, “Aaaaaa..”. Lemas, tak mampu lagi berkata-kata. Rasa
putus asa menyerbu jiwa Tony. Ia pun lemas dan duduk. Dirabanya orang tergolek
di samping, ia semakin sesak. Tak lama ia pingsan.
Ada semacam aura gelap menyebar ke
seluruh ruangan seiring tepuk tangan penonton. Tapi, Eitts…ini bukanlah
pertunjukan teater seperti biasanya. Ini salah satu pertunjukan yang diadaptasi
dari nukilan terjemahan novel Dover
karya Gustaaf Peek, penulis Belanda. Novel ini memotret kehidupan imigran gelap
di Belanda. Singkat memang, namun gambaran para imigran yang diliputi rasa
sakit dan putus asa tercermin dalam setiap gerak-gerik para pemain.
Acara bertajuk “Menuju Pusat
Penerjemahan Sastra” tanggal 13 Oktober 2012 di Erasmus Huis, merupakan acara pamungkas kegiatan
workshop penerjemahan sastra yang digagas Inisiatif, Pusat Penerjemahan sastra.
Acara ini melibatkan Kjersti Skomsvold, penulis Norwegia; Gustaaf Peek, Penulis
Belanda; Kari Dickson, penerjemah bahasa Norwegia ke bahasa Inggris, dan David
Colmer penerjemah bahasa Belanda ke bahasa Inggris; Arif Bagus Prasetyo,
penulis & kurator; Anton Kurnia, Penulis & Penerjemah; dan Widjajanti
Dharmowijono, dosen & penerjemah.
Kegiatan ini lahir dari
keprihatinan Eliza Vitri Handayani, Founder Inisiatif, Pusat Penerjemahan Sastra terhadap kegiatan penerjemahan sastra selama
ini. Banyak karya sastra yang berkualitas tidak dapat dinikmati khalayak di
Indonesia karena minimnya penerjemahan karya sastra. Ditambah lagi dengan kompetensi penerjemah yang kurang memadai,
ruang kerja yang sulit, dan rendahnya apresiasi karya sastra terjemahan.
Damhuri Muhammad dalam kumpulan esai Darah Daging Sastra Indonesia pernah menyoroti
perihal penerjemahan sastra, khususnya sastra Arab. Selama ini, para penerjemah
menguasai bahasa Arab dengan baik namun payah dalam bahasa Indonesia. Sehingga yang
dihasilkan adalah teks terjemahan bahasa Indonesia yang bercita rasa bahasa
Arab. Oleh karenanya, menyunting teks tidak hanya perlu penguasaan terjemahan
tekstual, tapi juga kecerdasan mengungkapkan tafsir kontekstual agar pesan teks
asli tidak hilang (2010: 23-26).
***
Nah, kegiatan workshop ini menjadi
sangat menarik karena menghadirkan penulis, dan penerjemahnya langsung. Para peserta
bisa langsung mengklarifikasi makna dan konteks dari sebuah cerita. Seperti
yang diungkapkan oleh Arif Bagus Prasetyo menyebutkan kebiasaan orang Norwegia
yang membuang barang bekas di sungai, tentu ini jauh dari benak orang
Indonesia, “Di Indonesia, kalau ada sepeda butut ya, eggak di buang, paling
jelek juga dikilo”.
Pun ketika menerjemahkan kata
‘van’ dalam bahasa Belanda. Dalam pandangan Anton Kurnia, ‘van’ bisa diartikan
mobil box atau barang, yang digunakan orang untuk mengangkut para imigran gelap
di Belanda.
Sekilas menerjemahkan sastra
tampaklah mudah, namun nyatanya pelik. Mestilah kita paham konteks dan budaya
teks asli untuk memperoleh makna yang tepat. Namun, dari penerjemahan inilah
kita bisa merasakan pengalaman, dan budaya yang berbeda. Bagi penulis tentu ini
sangat bermanfaat untuk sebagai pembelajaran dan pengalaman dalam membentang
imajinasi.
Terakhir, tentu kita berharap
akan banyak karya terjemahan sastra berkualitas dapat dinikmati. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar