Selasa, 06 November 2012

Semalam dengan Penerjemah Sastra


Oleh : N. Nurjanah

Syahdan, Tony berdiri di atas panggung. Air muka yang resah tergambar dalam garis wajahnya. Dirabanya dinding, Dipeganginya dada yang sesak. Kegelapan dan udara pengap semakin menghimpit paru-parunya. Ia berteriak, “Aaaaaa..”. Lemas, tak mampu lagi berkata-kata. Rasa putus asa menyerbu jiwa Tony. Ia pun lemas dan duduk. Dirabanya orang tergolek di samping, ia semakin sesak. Tak lama ia pingsan.

Ada semacam aura gelap menyebar ke seluruh ruangan seiring tepuk tangan penonton. Tapi, Eitts…ini bukanlah pertunjukan teater seperti biasanya. Ini salah satu pertunjukan yang diadaptasi dari nukilan terjemahan novel Dover karya Gustaaf Peek, penulis Belanda. Novel ini memotret kehidupan imigran gelap di Belanda. Singkat memang, namun gambaran para imigran yang diliputi rasa sakit dan putus asa tercermin dalam setiap gerak-gerik para pemain.

Acara bertajuk “Menuju Pusat Penerjemahan Sastra” tanggal 13 Oktober 2012 di Erasmus Huis, merupakan acara pamungkas kegiatan workshop penerjemahan sastra yang digagas Inisiatif, Pusat Penerjemahan sastra. Acara ini melibatkan Kjersti Skomsvold, penulis Norwegia; Gustaaf Peek, Penulis Belanda; Kari Dickson, penerjemah bahasa Norwegia ke bahasa Inggris, dan David Colmer penerjemah bahasa Belanda ke bahasa Inggris; Arif Bagus Prasetyo, penulis & kurator; Anton Kurnia, Penulis & Penerjemah; dan Widjajanti Dharmowijono, dosen & penerjemah.

Kegiatan ini lahir dari keprihatinan Eliza Vitri Handayani, Founder Inisiatif, Pusat Penerjemahan Sastra terhadap kegiatan penerjemahan sastra selama ini. Banyak karya sastra yang berkualitas tidak dapat dinikmati khalayak di Indonesia karena minimnya penerjemahan karya sastra. Ditambah lagi dengan kompetensi penerjemah yang kurang memadai, ruang kerja yang sulit, dan rendahnya apresiasi karya sastra terjemahan. 

Damhuri Muhammad dalam kumpulan esai Darah Daging Sastra Indonesia pernah menyoroti perihal penerjemahan sastra, khususnya sastra Arab. Selama ini, para penerjemah menguasai bahasa Arab dengan baik namun payah dalam bahasa Indonesia. Sehingga yang dihasilkan adalah teks terjemahan bahasa Indonesia yang bercita rasa bahasa Arab. Oleh karenanya, menyunting teks tidak hanya perlu penguasaan terjemahan tekstual, tapi juga kecerdasan mengungkapkan tafsir kontekstual agar pesan teks asli tidak hilang (2010: 23-26).
 ***
Nah, kegiatan workshop ini menjadi sangat menarik karena menghadirkan penulis, dan penerjemahnya langsung. Para peserta bisa langsung mengklarifikasi makna dan konteks dari sebuah cerita. Seperti yang diungkapkan oleh Arif Bagus Prasetyo menyebutkan kebiasaan orang Norwegia yang membuang barang bekas di sungai, tentu ini jauh dari benak orang Indonesia, “Di Indonesia, kalau ada sepeda butut ya, eggak di buang, paling jelek juga dikilo”. 

Pun ketika menerjemahkan kata ‘van’ dalam bahasa Belanda. Dalam pandangan Anton Kurnia, ‘van’ bisa diartikan mobil box atau barang, yang digunakan orang untuk mengangkut para imigran gelap di Belanda.
Sekilas menerjemahkan sastra tampaklah mudah, namun nyatanya pelik. Mestilah kita paham konteks dan budaya teks asli untuk memperoleh makna yang tepat. Namun, dari penerjemahan inilah kita bisa merasakan pengalaman, dan budaya yang berbeda. Bagi penulis tentu ini sangat bermanfaat untuk sebagai pembelajaran dan pengalaman dalam membentang imajinasi. 

Terakhir, tentu kita berharap akan banyak karya terjemahan sastra berkualitas dapat dinikmati. Semoga.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar